Senin, 16 Desember 2013

Investor Saham Jangan Harap Valuasi Premium 2014

Pemerintah dinilai sengaja memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan. Karena itu, investor saham jangan terlalu berharap valuasi premium pada tahun politik tersebut.
David Cornelis, kepala riset KSK Financial Group mengatakan, secara terang-terangan, Menteri Keuangan malah menegaskan apabila pertumbuhan ekonomi melebihi 6,2%, pemerintah justru gagal. “Itupun tambahan 0,2% hanya terbantu akibat konsumsi belanja Pemilu 2014, ironis,” katanya kepada INILAH.COM.
Berpegang pada asumsi Menteri Keuangan tersebut, kata dia, investor saham jangan harap ada valuasi premium di bursa di tahun 2014. “Kenaikan BI Rate tidak efektif dan salah sasaran dari segala sisi, karena hanya secara semu menekan defisit transaksi berjalan, apalagi defisit yang terjadi lebih diakibatkan oleh impor migas,” ujarnya.
Dari sisi moneter pun, kata dia, yang terjadi adalah tingginya inflasi karena dorongan biaya, bukan karena tarikan permintaan (cost-push inflation, bukan demand-pull inflation). “Senjata moneter dipakai melawan monster fiskal, teori jadul ala tahun 80-an,” tuturnya.
BI beberapa bulan lalu pernah memproyeksikan inflasi tahun ini hingga 9,8%, lalu direvisi kembali ke 9%, yang artinya inflasi Desember ini seharusnya tidak boleh lebih dari 0,63%, kalau tidak, prakiraan BI akan kembali meleset. “Sebagai informasi saja, rata-rata inflasi Desember selama 12 tahun terakhir mencapai 0,87%,” ucapnya.
Secara teoritis, kata dia, kenaikan suku bunga mestinya direspons dengan penguatan rupiah. “Dolar menguat secara global, rupiah kena imbas domestik yang tidak beres ditambah situasi yang bersifat struktural-fundamental di sektor moneter dan fiskal,” papar dia.
Semua itu, kata dia, lalu direspons gebyah uyah geng Kebon Sirih dan klub Lapangan Banteng hanya dengan kebijakan populis nan politis demi pemilu 2014 dan tindakan normatif (atau “ecek-ecek”, meminjam inuendo Anwar Nasution) yang senantiasa menimbulkan anomali dan paradoks. “Mesti ada langkah konkret dan advokasi lebih lanjut terhadap implementasi kebijakan yang diambil tersebut,” tandas David.
Usaha pemerintah menjual obligasi pertama kali di pasar sekunder senilai US$450 juta dengan kupon 3,5% akhir November lalu pun berlalu tak laku, tidak membantu penguatan rupiah. “Justru sebaliknya, rupiah makin melemah,” ujarnya.
Di waktu yang sama credit default swap (CDS) mengalami kenaikan di bulan November sebesar 5,73%. “Ini menggambarkan naiknya premi risiko investasi di Indonesia. Otomatis valuasi saham pun turun

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons